Dalam realitas
sehari-hari, manusia yang tergolong sebagai mikrokosmos (alam kecil) sekaligus
pelaku sejarah, tidak asing dengan fenomena konvensional (kebiasaan).
Pembakaran karena menempelkan api, kenyang dikarenakan makan, kelaparan
disebabkan ketiadaan makanan untuk dikonsumsi, merupakan contoh-contoh adanya
hukum kausal atau sebab akibat. Bahkan kebohongan fiktif pun, hanya karena
kebiasaan, terkadang menjadi sumber inspiratif seorang melakukan penyembahan,
seperti kepercayaan orang dahulu pada ruh-ruh halus, yang kemudian dikenal
ajaran Animisme. Sekarang pun masih ada, mungkin bisa ditonton pada ’Pesta
Laut’, seumpama. Banyak penduduk sekitar pantai yang merasa yakin laut bagaikan
singa liar yang kapan saatnya akan menerkam penduduk jika tidak diberi sesajen.
Mitologi Jawa,
pada umumya, masih kental sekali dengan kepercayaan kekuatan gaib alam laut
yang dianggap dapat mencelakakan. Keanehan kepercayaan yang selanjutnya
membudaya di masyarakat Jawa, entah siapa gurunya, dengan mengejawantah
persembahan sesajen kepala kerbau seumpama, dengan sejuta harapan pada ruh-ruh
halus yang berdiam di laut tidak mengganggunya kembali, dengan cara dilemparkan
ke tengah laut. Tradisi ini, akhirnya menjadikan mitos anak cucu selanjutnya
bahwa laut berkekuatan menciptakan malapetaka dan bahaya. Pesta laut biasanya
diadakan pada tanggal satu Syura, bertepatan dengan tahun baru Islam. Keraton
yogyakarta, misalnya, sebagai simbol kerajaan jawa kuno yang setia dengan
pelestarian budaya masyarakat, masih aktif mengadakan upacara laut setiap tahun
baru Islam, yang kemudian dikenal dengan Suronan. Meski kelihatan wajar dan
sadar, mitos itu tidaklah pantas bagi kepercayaan umat beragama, bila sampai
menafikan kekuatan kontrol alam yang menjadi otoritas Tuhan Yang Esa.
Dalam khazanah
pengetahuan Islam, hukum alami yang identik dengan terma hukum positif, hanya
sebuah ketetapan kejadian yang tercatat secara empiris, yang bersandar pada
hubungan kausalitas (sebab-akibat), dan yang pasti terbatas dalam hal-hal yang
dapat terjangkau indera. Terma itu, dalam khazanah keilmuan Islam lebih
dikenalkan dengan hukum adat (al-hukm al-‘adiy). Apapun fenomena
dunia, tidak akan bisa terlepas dari wilayah kontrol Tuhan, karena, walau
bagaimanapun, ketetapan alami yang kita pandang, sebenarnya adalah hubungan
satu benda dengan benda lain dari segi keberadaan dan ketiadaan, dan secara
kebetulan hubungan kejadian tersebut selalu terjadi bersamaan samai berulang
kali. Di muka telah dijelaskan beberapa contoh, api seumpama, dapat membakar
suatu benda. Membakarnya api hanya hukum adat, faktor kebiasaan semata yang
menghukumi api dapat membakar. Kok demikian? Karena pada esensinya, pembakaran
yang kebetulan bersamaan dengan sentuhan api pada suatu benda itu faktornya
karena mata seringnya melihat kejadiannya secara beruang-ulang. Tidak bedanya
manusia yang menganggap Taufik Spartacus itu orangnya dermawan, akan tetapi
ketika tidak memberinya lagi akan disebut orang kikir. Sama dengan api, kalau
kita percaya, Nabi Ibrahim, tidak ada yang luka sama sekali, apalagi terbakar,
ketika dibakar. Karenany, pengalaman konvensional alam tidak bisa disimpulkan
bahwa api-lah yang pemberi bakaran benda yang disentuh, atau bertenaga
memanaskan benda lain.1
Makanya,
hubungan kausalitas seperti contoh-contoh dimuka dipercaya hanya sebatas
hubungan konvensional (hukum alami-kebiasaan),2
bukan keniscayaan hubungan yang diilustrasikan kaum Muktazilah. Muktazilah
memandang, hukum sebab-akibat dipercaya sebagai hubungan keniscayaan yang tidak
mengalami perubahan. Pendukung Muktazilah, seperti Harun, mendukung tesis itu
dengan dasar ayat al-Quran: kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan
pada sunnatuLLah. Dan dengan sunnatuLLah, mereka makssudkan hukum alam; dan
dengan hukum alam, mereka maksudkan hukum sebab-akibat.3
Kalau menurut al-Gazali, sunnatuLLah itu adalah kebiasaan, adat, bukan hukum
alam.4
Perdebatan
tentang hukum alam apakah sesuatu yang pasti, dapat berubah atau tidak,
al-Ghazali termasuk tokoh sufi yang menolak hubungan pasti hukum sebab akibat
dengan argumen yang dipinjam dari teoretikus-teoretikus atom Asy’áriyah, bukan
saja untuk memulihkan posisi dan kekuasaan Tuhan atas dunia, melainkan juga
untuk menjelaskan kemungkinan adanya mukjizat yang dilakukan oleh Nabi. Ibnu
Rusyd (lawan teologi al-Ghzali), dipihak Muktazilah, mempertahankan hubungan
kausalitas (sebab-akibat) sebagai real dan tidak dapat diubah.5
Jalal
al-Din Rumi,6 seperti halnya pengikut
Asy’ari yang lainnya, juga menolak hubungan pasti antara sebab dan akibat,
tetapi dengan argumentasi yang unik dan menarik. Menurutnya, hubungan
kausalitas itu ibarat ilusi hubungan dengan pendekatan kiasan. Ilusi hubungan
itu tidak ubahnya seperti rangkaian yang memanjang seperti tali yang kita lihat
dari bara api yang diputar dengan cepat di waktu malam. Setiap orang tahu bahwa
kesan kesinambungan yang kita tangkap dari bara yang diputar tersebut adalah
ilusi, tidak sungguh terjadi. Kesan adanya hubungan antara sebab akibat yang
begitu lekat dalam pikiran kita, menurut Rumi, adalah akibat cepatnya tindakan
Tuhan, namun tidak terjadi dalam arti yang sebenarnya.7
Apa
yang terjadi pada ’bengkel kerja’ Tuhan tidaklah seperti yang tampak pada panca
indera kita. Meskipun begitu, Tuhan, dengan kebijaksanaan-Nya, memberi manusia
kesan kesinambungan dan keteraturan pada alam sebagai petunjuk bagi manusia.
Rumi berkata: ‘‘Karena tidak semua orang diizinkan masuk ke dalam bengkel kerja
Tuhan, Dia menimbulkan kesan keteraturan pada manusia.
Salah paham
dalam masalah ini akan sangat fatal pengaruhnya dalam keyakinan seseorang.
Karenanya, akan dijelaskan lebih dahulu mengenai konsep penciptaan (ijad)
menurut teologi Islam. Kata ijâd secara tehnikal diartikan dengan penciptaan
sesuatu yang semula tidak ada menjadi ada, entah itu berbentuk dzat, sifat,
maupun perbuatan, baik yang bersifat alami (idhthirari) maupun kemauan
manusiawi (ikhtiari). Mengenainya, Allah Swt-lah pencipta segala
sesuatunya, Ia satu-satunya dzat yang memiliki kekuatan (qudrah) secara
independen. Hal ini selaras dengan ajaran sekte teologi Asy’ariyah. Karena
menurut golongan Muktazilah, bahwa dalam diri manusia terdapat kekuatan
integral, dalam arti manusia bertenaga menciptakan tindakan moral (ikhtiari).
Dengan demikian, Muktazilah mensyarikatkan kekuasaan antara Allah dan manusia.
Padahal, seharusnya penciptaan yang diawali adanya kekuatan hanya diarahkan
pada Allah Swt. semata. Nah, jelaslah kekeliruan itu terletak pada anggapan
akan adanya kekuatan lain yang terdapat dalam diri manusia, meskipun hanya dalam
tindakan moral manusia. Dalam ranah ini, kekeliruan sekte Muktazilah
mengakibatkan diklaim telah menyekutukan
Allah Swt.
Dalam
masalah ini, ketika kita mengarahkan bahwa subyek-pencipta dalam peristiwa
alami setiap hari (hukum adat) itu pada selain Allah Swt. jelas tidak logis.
Karena, hubungan kausal (sebab akibat) yang membekas pada sesuatu yang lain
akan ditemukan jawabannya melalui pendekatan dua argumen; pendekatan rasional
(akal) dan pendekatan dogmatik (wahyu)
Pertama,
Wahyu1. Allah Swt. dengan tegas
menyatakan bahwa, segala sesuatu telah diciptakan-Nya. Demikian redaksional
firman itu:
ذلكم الله ربكم لا إله إلا هو خالق
كل شيئ فاعبدوه
‘‘Dia
adalah Allah Tuhannya kalian. Tidak ada Tuhan selain-Nya, yang telah
menciptakan segala sesuatu, makanya sembahlah Ia’’.
Ayat di muka
meneguhkan keyakinan golongan yang meyakini bahwa keberadaan dunia dan isinya
adalah hasil ciptaan Allah semata. Ke-Maha Esa-an Allah tidak hanya dalam wujud
dzatnya, melainkan dalam sifat dan rububiyah. Allah Pencipta segala sesuatu
berarti tidak ada sesuatu yang menciptakan keculai Dia.
Kedua, Nalar2. Tuhan wajib adanya
(wajib wujud), sedangkan selain-Nya, yang biasa disebut alam hanyalah mungkin
adanya (mumkin al-wujud). Sebagai yang wajib ada maka Tuhan tidak boleh tidak
ada, baik pada masa lalu maupun sekarang. Pokoknya tidak terbayangkan
ketiadaan-Nya, dan karena itu mustahil misalnya ada yang membunuh-Nya atau
bunuh diri. Adapun mengenai sifat-Nya yang paling esensial ialah keesaan-Nya,
dan keesaan ini tercermin dalam kesatuan sistem perintah yang mengendalikan
alam.
Kenyataan
bahwa ada satu sistem tunggal yang berlaku di alam semesta pada suatu saat,
karena mungkin saja pada waktu yang lain Tuhan menggunakan sistem perintah
tunggal yang berbeda dengan yang sekarang berlaku, menunjukan bahwa di alam ini
hanya ada satu sistem perintah. Sebab seandainya ada dua atau lebih pemberi
perintah, tidak mungkin dihindarkan adannya dua dua sistem kontrol atau lebih,
dan ini akan menimbulkan perseteruan oleh dua kekuatan Ilahi atau lebih, yang
akan berakhir kehancuran alam semesta. Kenyataan bahwa alam semesta telah ada
dan telah berlangsung miliaran tahun, menunjukan hanya ada satu sistem kontrol
(perintah) yang berlaku di alam ini, dan ini pada akhirnya menunjukan keesaan
si pengontrolnya, Tuhan.
Oleh karena
Dia Esa, konsekwensinya tidak ada suatu apapun yang dipandang serupa atau
setara dengan-Nya. Segala pandangan yang mengisyaratkan penyekutuan Tuhan
adalah kekeliruan nyata dan harus ditolak. Terus, andai di alam ini ada mahluk
(kekuatan) sebagai pemberi perintah, maka meniscayakan ada yang setara dengan
Allah Swt. Padahal hal itu, seperti di atas tidak mungkin akan adanya. Karena
akan kacau jika ada yang sepadan dengan Allah, sebab ketika ada dua sistem
perintah maka yang terjadi bukanlah terciptanya alam semesta, manusia dan
tindakannya, melainkan pertentangan di antara dua kubu yang setara dalam
kekuatan. Padahal alam semesta (kosmos) nyata telah ada, berarti meyakinkan
akan adanya satu sistem kontrol (qudrat) Allah swt. sang Maha Esa.8
Perlu dicatat,
di antara teolog Islam klasik, besilang pendapat dalam pertalian dua
argumentasi di muka, menurut syeh al-Dusuqi, pendekatan rasio secara otonom
mampu dan cukup menunjukkan keesaan Allah Swt. Begitu pula pendekatan wahyu,
karena menurut al-Fakhru,9 justru
cenderung memilih hanya dengan wahyu Tuhan bisa menunjukan keesaan-Nya. Akan
tetapi menurut versi lain, dari ulama yang piawai dan kompeten dalam argumen,
justru menuturkan bahwa pendekatan wahyu tidak akan bisa berdiri sendiri dalam
menunjukan wujud tunggal Tuhan, maskipun wahyu tidak bisa terpisahkan dalam
menggunakan argumen-rasional. Karena, menurut pendapat ini memandang bahwa
alasan wahyu semata-mata untuk menghindari perputaran tak berujung (dawr) dalam
bangunan argumen-rasional tentang keesaan Tuhan.10
Dengan
demikian, rasio dan wahyu sepakat menunjukan bahwa secara absolut hanya Allah
Swt-lah yang Esa, sang Pencipta Tunggal. Kemudian, hubungan secara
kebetulan berbarengan (adat) pada hukum kausalitas, dalam arti bahwa keberhasilan
sebab-akibat itu hanya kejadian beruntun semata. Lalu, ketetapan, pembakaran
api seumpama , itu akan dikatakan sebagai apa, sekedar sebab atau bahkan
sebagai pemberi perintah (bekas)?. Dalam hal ini, ulama Ahlusunnah berbeda
pandangan. Ada yang menisbatkan itu sebagai perangkat (sebab) semata, dan ada
yang mengatakan bahwa api itu juga termasuk pemberi kesan (pembekas).11. kelanjutannya akan disinggung di
bawah. Insya Allah.
Kemudian,
topik selanjutnya ialah hubungan etika dan kebebasan memilih. Manusia dikatakan
makhluk moral-dalam arti dikatan baik dan buruk. Manusia bukanlah benda mati
yang tidak pantas menyandang predikat bermoral; misalnya, batu ini moralnya
baik, atau jelek tingkah lakunya. Seperti halnya kita tidak bisa mengatakan bahwa
laut (tsunami) yang baru saja terjadi dan melukai banyak orang dan bahkan
meminta banyak korban itu buruk, dengan alasan bahwa laut tersebut tidak bisa
berbuat lain dari yang telah ditentukan Tuhanm melalui sunnah-Nya, demikian
juga manusia jika tidak mempunyai kebebasan memilih, karena segala tindakannya
telah ditentukan secara pasti oleh yang Maha Kuasa, bagaimana kita
bisamengatakan bahwa tindakan-tindakannya itu baik atau buruk, padahal mereka
tidak mempunyai kontrol apapun.
Nah, dalam hal
ini Sayid Muhamad, menuturkan bahwa selain Allah saw. tidak berpengaruh
(pemberi kontrol) sama sekali, baik secara partikular maupun universal.
Pendapat ini ditentang Abi Ishaq al-Ispirayini, karena menurut analisanya
tenyata berkesimpulan lain dengan pendapat pertama. Ia justru menyatakan bahwa
yang terlintas dalam tindakan manusia itu adalah kombinasi dua kontrol (qudratain),
yakni antara kontrol Tuhan dan kontrol manusia. Bahkan, al-Isfirayini
membolehkan ada dua pemberi kontrol (subyek) dalam satu tindakan. Lebih jelasnya,
kontrol Tuhan itu erat hubungannya dengan dasar-asal sebuah tindakan, sementara
kekuatan manusia itu bertalian dengan sifat tindakan. Kontrol seorang hambalah
yang menjadikan tindakannya tergolong berbakti (moralalitas baik) dan durhaka
(moralitas buruk). Misalnya dalam masalah aktifitas-ibadah shalat seumpama,
maka menurutnya, terkandung dua implikasi; ibadah itu bisa dikatakan sebuah
tindakan, dan sekaligus sebagai suatu ketaatan. Oleh Karena itu, aktifitas
shalat apabila ditinjau dari sisi tindakannya berarti itu ciptaan Allah swt,
akan tetapi bila ditinjau dari sudut ketaatan seorang hamba, maka shalat
termasuk ciptaan manusia. Untuk meneguhkan alasannya, ia mencontohkan lagi
dalam tindakan menempeleng bocah yatim. Dipandang dari sisi tindakannya berarti
ciptaan Allah Swt, namun dari unsur menyakiti atau mendidik maka itu akan
digolongkan termasuk perbuatan manusia.12
Konsep
perbuatan al-Isfirayini, akan menghadapi masalah bila dibenturkan dengan
kenyataan bahwa seorang mahluk tidak mampu meninggalkan bekas-pengaruh sama
sekali. Kan, dalam khazanah keilmuan teologi Islam, mengenai kekuatan (qudrah)
itulah yang dapat mengontrol obyek yang dikuasai (maqdur), sementara kehendak
(iradah) itu yang menyalurkan. Lalu ia menjawab, mengenai pemberi pengaruh (muatsir)
dan pemberi kontrol (mufashil) tindakan manusia itu hanyalah dzat yang
Maha Tinggi. Tapi, meski dipahami, yang dikehendaki dengan tiadanya pengaruh
(bekas-atsar) itu adalah ketidakmampuan mengubah dan mengelak . Sementara,
sifat manusia itu bukanlah sebuah
entitas (sesuatu, realitas) yang mampu mengubah atau mengelak dari qudrah dan
iradah-Nya.13 Dari sini berarti,
manusia tetap di bawah kendali Tuhan, hanya dalam tindakan moralnya dia tetap
berpredikat baik dan buruk yang menyebabkan selamat dan cilaka.
Dalam
pandangan Rumi, tangan, kaki, dan anggota badan lainnya, adalah alat-alat yang
diberikan Allah untuk kita gunakan berkarya.. Baru, setelah secara maksimal
kita berkarya, kita serahkan sepenuhnya pada Tuhan. ’Bekerjalah’, seru Rumi,
baru tawakal. Tebarkan bibit itu, baru serahkan kepada Yang Kuasa.
Bagaimanapun
manusia bukanlah pengontrol yang hakiki. Untuk melanjutkan, terlebih dahulu
kita membagi tindakan atau perbuatan manusia ke dalam dua kategori: (1)
tindakan alamiah (idhthirari), atau lebih tepat gerak alamiah; (2)
tindakan-tindakan moral (ikhtiari).
Klasifikasi Akibat Pemahaman Hukum
Kebiasaan:
1.
Ulama
sepakat menklaimnya kafir. Bagi seseorang yang meyakini bahwa unsur
konvensional (tradisi), berdasarkan tabiat dan dzatnya, dapat membekas pada
benda yang terpengaruhi, dan menganggap akan hal itu termasuk menyatunya
tradisi dengan kejadian menurut akal. Seperti kepercayaan Animisme, yaitu
kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib pada suatu benda secara mutlak.
2.
Kekafirannya
diperselisihkan, tapi menurut pendapat shahih tidak dinobatkan kufur. Yaitu
seseorang yang menganggap bahwa sebab kebiasaan sebuah kejadian itu karena
kekuatannya, yang dititipkan Allah Swt. dan saling bahu-membahunya kebiasaan
dan kejadian tersebut karena hukum tradisi. Kelihatannya masalah ini dapat
digunakan menklaim kaum Muktazilah yang menganggap bahwa, manusia memiliki
kekuatan titipan dari Allah Swt untuk menggerakan tubuhnya yang bersifat
ikhtiar. Iktikad ini sama dengan konsep manusia dan perbuatannya kaum
Qadariyah. Jadi kayaknya muktazilah itu termasuk new-qadariyah
3.
Kafir
menurut versi ulama. Golongan yang meyakini bahwa pelaku yang membekaskan pada
kejadian kebiasaan, seperti terbakar, segar, kenyang dll, adalah hanya Allah
Swt. semata. Namun mereka meyakini bahwa berkesinambungannya itu, secara nalar,
tidak dapat terhalangi. Wajar bila mereka menganggap yang namanya api pasti
akan membakar, makan pasti kenyang dll. Meskipun iktikad semacam ini tidak
mutlak diktegorikan kufur, namun keyakinannya adalah suatu kebodohan. Sebab
pada saatnya akan menjerumuskan pada kekafiran, ketika terjadi peristiwa di
luar kebiasaan. Contohnya besok manusia akan dibangkitkan dari kuburnya dan
hidup kembali seperti semula. Mereka tentu akan mencibir, seraya menyampaikan keyakinannya
bahwa hal itu tidak mungkin karena menentang adat.
4.
Golongan
yang selamat, atau lebih dikenal dengan aliran
Ahl al-Sunah. Mereka yang percaya akan kejadian konvensional itu
diperbuat oleh Allah. Adapun mengenahi keterkaitan dan keserempakan sebab
musabab itu faktornya kebetulan, yang kapan saatnya akan hilang kebiasaan
tersebut Misalnya seseorang yang tidak mau makan tapi merasakan kenyang.
Sebagai
catatan penting, Sayid Muhamad al-Sanusi menyimpulkan ketentuan akan kefatalan
memahami pencipta kejadian konvensional, bahkan bisa masuk dalam jurang
perbuatan syirik, jika sampai beranggapan apilah seumpama, yang dapat membakar,
atau suatu benda mengandung titipan kekuatan dari Tuhan. Dari komentar itu Syeh
al-Dusuqi memahami bahwa, dia kelihatannya tidak menggolongkan syirik pada
kelompok ke-tiga, yang mempercayai semua kejadian diciptakan Allah, akan tetapi
kebiasaan itu secara logika tidak mungkin ketidakterjadiannya4.
Tambah
konsep manusia dan perbuatannya Imam Ghazali?
1 Muhamad al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi ala al-Syarh Um al-Barahin,
Thaha Putra Semarang, hlm.40
2 Ibid
3 Mulyadi Kartanegara, Menembus
Batas Waktu, Mizan Bandung, hlm. 17
4 Imam Ghazali, Kitab al-Arbain
fi Ushul al-Din, hlm. 187
5 Mulyadi Kartanegara Op. cit,
hlm. 25
6 Nama lengkapnya Jalaludin Muhamad bin Muhamad al-Balkhi al-Qunuwi
(w. Turki 672 H./17 Desember 1273 M.). Dia seorang penyair sufi terbesar dari
Persia (Iran). Sebagian besar hidupnya dihabiskan Konya (kini Turki), yang dulu
dikenal sebagai daerah Rum (Roma), sehingga ia lebih dikenal Jalaludin al-Rumi.
Pertama pendidikan langsung diperoleh dari ayahnya sendiri, seorang tokoh dan
ahli agama Islam penganut madzhab Hanafi. Kemudian belajar pada Burhanuddin
Muhaqiqi al-Turmudzi, seorang tokoh dan sahabat ayahnya. Ia juga menimba ilmu
pengetahuan beberapa waktu di Syam (Syuriah) atas saran gurunya. Setelah
Burhanudin wafat, Rumi menggantikan sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan
agamanya yang luas, disaming sebagai guru, ia juga dai dan ahli hukum Islam.
Baru setelah pada tahun 652 H ia mulai mengubah jalan hidupnya ke arah
kehidupan sufi, aetelah ia bertemu dengan seorang penyair sufi pengelana,
Syamsudin al-Tabrizi. Ia sangat terpengaruh oleh sufi, sehingga ia meninggalkan
pekerjaannya sebagai guru dan mulai menggubah puisi serta memasuki kehidupan
sufi. Ia menulis sebuah buku dengan judul ’Diwan Shamsi Tabriz’ sebagai kenangan akan
gurunya tersebut. Inti ajaran tasawuf Rumi, disamping termuat dalam Diwan
Shams Tabriz, paling banyak dimuat dalam sebuah karya besarnya yang
terkenal, Al-Masnawi . Buku ini, yang terdiri dari enam jilid dan
berisi 20,700 bait syair, berpengaruh besar terhadap perkembangan tasawuf
sesudahnya. Pandang dan telaah: Ensiklopedi Islam, Perpustakaan Nasional:
Katalog dalam Terbitan (KDT), PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, bag; IV,
hlm. 182.
8 Muhamad al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi ala al-Syarh Um al-Barahin,
Thaha Putra Semarang, hlm.40
9 Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah bin Umar bin Husain al-Taimi
al-Bakri. Juga dikenal dengan nama Fahrudin al-Razi, al-Razi dan Imam
Fakhrudin. Kematangan pengetahuannya menjadikannya berani berdialog dengan
tokoh di tanah kelahirannya. Dialog perdananya terjadi dengan Kaum Muktazilah
di Khawarizmi, dan bahkan pernah berdebat dengan seorang pendeta yang sangat
dikagumi pengetahuannya oleh kalangan Kristen. Buku dialognya dengan pendeta
ini kemudian ditulis dalam bukunya al-Munadzarah baina al-Nashara. Dia
seorang pemikir, mufasir, teolog dan ahli ushul fiqh. Dalam bidang fiqh, ia
termasuk mengikuti madzhab Syafi’i. Fakhrudin juga termasuk orang yang gigih
mempertahankan pemikiran yang dikembangkan kaum Asy’ariyyah. Sebagai orang yang
mendalami teologi, kajian-kajian teologinya dikembangkannya melalui pendekatan
filsafat. Karena pendekatannya itu, ia dianggap sebagai seorang Muktazilah.
Namun konsep Muktazilah tidak luput dari kajian dan kritiknya. Al-Fakhr
dinyatakan sebagai tokoh reformis dunia Islam pada abad ke-6 H, sebagaimana Abu
Hamid al-Ghazali pada abad ke-5 H. Bahkan ia dijuluki sebagai tokoh pembangun
sistem teologis melalui pendekatan filsafat. Pembahasan teologisnya mengambil
bentuk yang berbeda dari pembahasan para teolog sebelumnya. Tema-tema teologis
dikaitkannya dengan tema-tema cabang ilmu pengetahuan lainnya. Seperti
pengakuan Sayyid Husain al-Nasr, seorang penulis Iran dan pemikir mistik
modern, menjelaskan bahwa dalam risalah yang berjudul Asrar al-Tanzil,
Fakhrudin mengawinkan tematika dengan pembahasan teologis. Di antara konsep
teologinya yang mashur adalah mengenahi penilaian baik dan buruk, Fakhrudin
membaginya ke dalam dua bentuk. Pertama, yang menyangkut kesenangan dan
kepuasan manusia sangat bergantung pada manusia sendiri. Kedua, yang menyangkut
hukum, apakah setiap perbuatan harus dilaksanakan atau terpaksa ditinggalkan,
syariatlah yang menentukannya. Dalam hal terahir manusia tidak mempunyai
kekuasaan untuk mengaturnya. Periksa: Eksiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) cet. Kelima: 1999,
bag.1, hlm. 327-328.
10 Mulyadi Kartanegara, Loc. cit.
11 Muhamad al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi ala al-Syarh Um al-Barahin,
hlm.39
12 Ibid, hlm 40
13 Ibid
4 Periksa: Um al-Barahin hlm………????