SIRBAGOOOS

Selamat datang di Pondok Pesantren Sirojuth Tholibiin

Minggu, 04 November 2012

Hukum Kausal & Tindakan Moral


Dalam realitas sehari-hari, manusia yang tergolong sebagai mikrokosmos (alam kecil) sekaligus pelaku sejarah, tidak asing dengan fenomena konvensional (kebiasaan). Pembakaran karena menempelkan api, kenyang dikarenakan makan, kelaparan disebabkan ketiadaan makanan untuk dikonsumsi, merupakan contoh-contoh adanya hukum kausal atau sebab akibat. Bahkan kebohongan fiktif pun, hanya karena kebiasaan, terkadang menjadi sumber inspiratif seorang melakukan penyembahan, seperti kepercayaan orang dahulu pada ruh-ruh halus, yang kemudian dikenal ajaran Animisme. Sekarang pun masih ada, mungkin bisa ditonton pada ’Pesta Laut’, seumpama. Banyak penduduk sekitar pantai yang merasa yakin laut bagaikan singa liar yang kapan saatnya akan menerkam penduduk jika tidak diberi sesajen.
Mitologi Jawa, pada umumya, masih kental sekali dengan kepercayaan kekuatan gaib alam laut yang dianggap dapat mencelakakan. Keanehan kepercayaan yang selanjutnya membudaya di masyarakat Jawa, entah siapa gurunya, dengan mengejawantah persembahan sesajen kepala kerbau seumpama, dengan sejuta harapan pada ruh-ruh halus yang berdiam di laut tidak mengganggunya kembali, dengan cara dilemparkan ke tengah laut. Tradisi ini, akhirnya menjadikan mitos anak cucu selanjutnya bahwa laut berkekuatan menciptakan malapetaka dan bahaya. Pesta laut biasanya diadakan pada tanggal satu Syura, bertepatan dengan tahun baru Islam. Keraton yogyakarta, misalnya, sebagai simbol kerajaan jawa kuno yang setia dengan pelestarian budaya masyarakat, masih aktif mengadakan upacara laut setiap tahun baru Islam, yang kemudian dikenal dengan Suronan. Meski kelihatan wajar dan sadar, mitos itu tidaklah pantas bagi kepercayaan umat beragama, bila sampai menafikan kekuatan kontrol alam yang menjadi otoritas Tuhan Yang Esa.
Dalam khazanah pengetahuan Islam, hukum alami yang identik dengan terma hukum positif, hanya sebuah ketetapan kejadian yang tercatat secara empiris, yang bersandar pada hubungan kausalitas (sebab-akibat), dan yang pasti terbatas dalam hal-hal yang dapat terjangkau indera. Terma itu, dalam khazanah keilmuan Islam lebih dikenalkan dengan hukum adat (al-hukm al-‘adiy). Apapun fenomena dunia, tidak akan bisa terlepas dari wilayah kontrol Tuhan, karena, walau bagaimanapun, ketetapan alami yang kita pandang, sebenarnya adalah hubungan satu benda dengan benda lain dari segi keberadaan dan ketiadaan, dan secara kebetulan hubungan kejadian tersebut selalu terjadi bersamaan samai berulang kali. Di muka telah dijelaskan beberapa contoh, api seumpama, dapat membakar suatu benda. Membakarnya api hanya hukum adat, faktor kebiasaan semata yang menghukumi api dapat membakar. Kok demikian? Karena pada esensinya, pembakaran yang kebetulan bersamaan dengan sentuhan api pada suatu benda itu faktornya karena mata seringnya melihat kejadiannya secara beruang-ulang. Tidak bedanya manusia yang menganggap Taufik Spartacus itu orangnya dermawan, akan tetapi ketika tidak memberinya lagi akan disebut orang kikir. Sama dengan api, kalau kita percaya, Nabi Ibrahim, tidak ada yang luka sama sekali, apalagi terbakar, ketika dibakar. Karenany, pengalaman konvensional alam tidak bisa disimpulkan bahwa api-lah yang pemberi bakaran benda yang disentuh, atau bertenaga memanaskan benda lain.1
            Makanya, hubungan kausalitas seperti contoh-contoh dimuka dipercaya hanya sebatas hubungan konvensional (hukum alami-kebiasaan),2 bukan keniscayaan hubungan yang diilustrasikan kaum Muktazilah. Muktazilah memandang, hukum sebab-akibat dipercaya sebagai hubungan keniscayaan yang tidak mengalami perubahan. Pendukung Muktazilah, seperti Harun, mendukung tesis itu dengan dasar ayat al-Quran: kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnatuLLah. Dan dengan sunnatuLLah, mereka makssudkan hukum alam; dan dengan hukum alam, mereka maksudkan hukum sebab-akibat.3 Kalau menurut al-Gazali, sunnatuLLah itu adalah kebiasaan, adat, bukan hukum alam.4   
            Perdebatan tentang hukum alam apakah sesuatu yang pasti, dapat berubah atau tidak, al-Ghazali termasuk tokoh sufi yang menolak hubungan pasti hukum sebab akibat dengan argumen yang dipinjam dari teoretikus-teoretikus atom Asy’áriyah, bukan saja untuk memulihkan posisi dan kekuasaan Tuhan atas dunia, melainkan juga untuk menjelaskan kemungkinan adanya mukjizat yang dilakukan oleh Nabi. Ibnu Rusyd (lawan teologi al-Ghzali), dipihak Muktazilah, mempertahankan hubungan kausalitas (sebab-akibat) sebagai real dan tidak dapat diubah.5
            Jalal al-Din Rumi,6 seperti halnya pengikut Asy’ari yang lainnya, juga menolak hubungan pasti antara sebab dan akibat, tetapi dengan argumentasi yang unik dan menarik. Menurutnya, hubungan kausalitas itu ibarat ilusi hubungan dengan pendekatan kiasan. Ilusi hubungan itu tidak ubahnya seperti rangkaian yang memanjang seperti tali yang kita lihat dari bara api yang diputar dengan cepat di waktu malam. Setiap orang tahu bahwa kesan kesinambungan yang kita tangkap dari bara yang diputar tersebut adalah ilusi, tidak sungguh terjadi. Kesan adanya hubungan antara sebab akibat yang begitu lekat dalam pikiran kita, menurut Rumi, adalah akibat cepatnya tindakan Tuhan, namun tidak terjadi dalam arti yang sebenarnya.7 
            Apa yang terjadi pada ’bengkel kerja’ Tuhan tidaklah seperti yang tampak pada panca indera kita. Meskipun begitu, Tuhan, dengan kebijaksanaan-Nya, memberi manusia kesan kesinambungan dan keteraturan pada alam sebagai petunjuk bagi manusia. Rumi berkata: ‘‘Karena tidak semua orang diizinkan masuk ke dalam bengkel kerja Tuhan, Dia menimbulkan kesan keteraturan pada manusia.
Salah paham dalam masalah ini akan sangat fatal pengaruhnya dalam keyakinan seseorang. Karenanya, akan dijelaskan lebih dahulu mengenai konsep penciptaan (ijad) menurut teologi Islam. Kata ijâd secara tehnikal diartikan dengan penciptaan sesuatu yang semula tidak ada menjadi ada, entah itu berbentuk dzat, sifat, maupun perbuatan, baik yang bersifat alami (idhthirari) maupun kemauan manusiawi (ikhtiari). Mengenainya, Allah Swt-lah pencipta segala sesuatunya, Ia satu-satunya dzat yang memiliki kekuatan (qudrah) secara independen. Hal ini selaras dengan ajaran sekte teologi Asy’ariyah. Karena menurut golongan Muktazilah, bahwa dalam diri manusia terdapat kekuatan integral, dalam arti manusia bertenaga menciptakan tindakan moral (ikhtiari). Dengan demikian, Muktazilah mensyarikatkan kekuasaan antara Allah dan manusia. Padahal, seharusnya penciptaan yang diawali adanya kekuatan hanya diarahkan pada Allah Swt. semata. Nah, jelaslah kekeliruan itu terletak pada anggapan akan adanya kekuatan lain yang terdapat dalam diri manusia, meskipun hanya dalam tindakan moral manusia. Dalam ranah ini, kekeliruan sekte Muktazilah mengakibatkan diklaim telah  menyekutukan Allah Swt. 
            Dalam masalah ini, ketika kita mengarahkan bahwa subyek-pencipta dalam peristiwa alami setiap hari (hukum adat) itu pada selain Allah Swt. jelas tidak logis. Karena, hubungan kausal (sebab akibat) yang membekas pada sesuatu yang lain akan ditemukan jawabannya melalui pendekatan dua argumen; pendekatan rasional (akal) dan pendekatan dogmatik (wahyu)
            Pertama, Wahyu1. Allah Swt. dengan tegas menyatakan bahwa, segala sesuatu telah diciptakan-Nya. Demikian redaksional firman itu:
ذلكم الله ربكم لا إله إلا هو خالق كل شيئ فاعبدوه
‘‘Dia adalah Allah Tuhannya kalian. Tidak ada Tuhan selain-Nya, yang telah menciptakan segala sesuatu, makanya sembahlah Ia’’.
Ayat di muka meneguhkan keyakinan golongan yang meyakini bahwa keberadaan dunia dan isinya adalah hasil ciptaan Allah semata. Ke-Maha Esa-an Allah tidak hanya dalam wujud dzatnya, melainkan dalam sifat dan rububiyah. Allah Pencipta segala sesuatu berarti tidak ada sesuatu yang menciptakan keculai Dia.
Kedua, Nalar2. Tuhan wajib adanya (wajib wujud), sedangkan selain-Nya, yang biasa disebut alam hanyalah mungkin adanya (mumkin al-wujud). Sebagai yang wajib ada maka Tuhan tidak boleh tidak ada, baik pada masa lalu maupun sekarang. Pokoknya tidak terbayangkan ketiadaan-Nya, dan karena itu mustahil misalnya ada yang membunuh-Nya atau bunuh diri. Adapun mengenai sifat-Nya yang paling esensial ialah keesaan-Nya, dan keesaan ini tercermin dalam kesatuan sistem perintah yang mengendalikan alam.
Kenyataan bahwa ada satu sistem tunggal yang berlaku di alam semesta pada suatu saat, karena mungkin saja pada waktu yang lain Tuhan menggunakan sistem perintah tunggal yang berbeda dengan yang sekarang berlaku, menunjukan bahwa di alam ini hanya ada satu sistem perintah. Sebab seandainya ada dua atau lebih pemberi perintah, tidak mungkin dihindarkan adannya dua dua sistem kontrol atau lebih, dan ini akan menimbulkan perseteruan oleh dua kekuatan Ilahi atau lebih, yang akan berakhir kehancuran alam semesta. Kenyataan bahwa alam semesta telah ada dan telah berlangsung miliaran tahun, menunjukan hanya ada satu sistem kontrol (perintah) yang berlaku di alam ini, dan ini pada akhirnya menunjukan keesaan si pengontrolnya, Tuhan.
Oleh karena Dia Esa, konsekwensinya tidak ada suatu apapun yang dipandang serupa atau setara dengan-Nya. Segala pandangan yang mengisyaratkan penyekutuan Tuhan adalah kekeliruan nyata dan harus ditolak. Terus, andai di alam ini ada mahluk (kekuatan) sebagai pemberi perintah, maka meniscayakan ada yang setara dengan Allah Swt. Padahal hal itu, seperti di atas tidak mungkin akan adanya. Karena akan kacau jika ada yang sepadan dengan Allah, sebab ketika ada dua sistem perintah maka yang terjadi bukanlah terciptanya alam semesta, manusia dan tindakannya, melainkan pertentangan di antara dua kubu yang setara dalam kekuatan. Padahal alam semesta (kosmos) nyata telah ada, berarti meyakinkan akan adanya satu sistem kontrol (qudrat) Allah swt. sang Maha Esa.8
Perlu dicatat, di antara teolog Islam klasik, besilang pendapat dalam pertalian dua argumentasi di muka, menurut syeh al-Dusuqi, pendekatan rasio secara otonom mampu dan cukup menunjukkan keesaan Allah Swt. Begitu pula pendekatan wahyu, karena menurut al-Fakhru,9 justru cenderung memilih hanya dengan wahyu Tuhan bisa menunjukan keesaan-Nya. Akan tetapi menurut versi lain, dari ulama yang piawai dan kompeten dalam argumen, justru menuturkan bahwa pendekatan wahyu tidak akan bisa berdiri sendiri dalam menunjukan wujud tunggal Tuhan, maskipun wahyu tidak bisa terpisahkan dalam menggunakan argumen-rasional. Karena, menurut pendapat ini memandang bahwa alasan wahyu semata-mata untuk menghindari perputaran tak berujung (dawr) dalam bangunan argumen-rasional tentang keesaan Tuhan.10
Dengan demikian, rasio dan wahyu sepakat menunjukan bahwa secara absolut hanya Allah Swt-lah yang Esa, sang Pencipta Tunggal. Kemudian, hubungan secara kebetulan berbarengan (adat) pada hukum kausalitas, dalam arti bahwa keberhasilan sebab-akibat itu hanya kejadian beruntun semata. Lalu, ketetapan, pembakaran api seumpama , itu akan dikatakan sebagai apa, sekedar sebab atau bahkan sebagai pemberi perintah (bekas)?. Dalam hal ini, ulama Ahlusunnah berbeda pandangan. Ada yang menisbatkan itu sebagai perangkat (sebab) semata, dan ada yang mengatakan bahwa api itu juga termasuk pemberi kesan (pembekas).11. kelanjutannya akan disinggung di bawah. Insya Allah.      
Kemudian, topik selanjutnya ialah hubungan etika dan kebebasan memilih. Manusia dikatakan makhluk moral-dalam arti dikatan baik dan buruk. Manusia bukanlah benda mati yang tidak pantas menyandang predikat bermoral; misalnya, batu ini moralnya baik, atau jelek tingkah lakunya. Seperti halnya kita tidak bisa mengatakan bahwa laut (tsunami) yang baru saja terjadi dan melukai banyak orang dan bahkan meminta banyak korban itu buruk, dengan alasan bahwa laut tersebut tidak bisa berbuat lain dari yang telah ditentukan Tuhanm melalui sunnah-Nya, demikian juga manusia jika tidak mempunyai kebebasan memilih, karena segala tindakannya telah ditentukan secara pasti oleh yang Maha Kuasa, bagaimana kita bisamengatakan bahwa tindakan-tindakannya itu baik atau buruk, padahal mereka tidak mempunyai kontrol apapun.
Nah, dalam hal ini Sayid Muhamad, menuturkan bahwa selain Allah saw. tidak berpengaruh (pemberi kontrol) sama sekali, baik secara partikular maupun universal. Pendapat ini ditentang Abi Ishaq al-Ispirayini, karena menurut analisanya tenyata berkesimpulan lain dengan pendapat pertama. Ia justru menyatakan bahwa yang terlintas dalam tindakan manusia itu adalah kombinasi dua kontrol (qudratain), yakni antara kontrol Tuhan dan kontrol manusia. Bahkan, al-Isfirayini membolehkan ada dua pemberi kontrol (subyek) dalam satu tindakan. Lebih jelasnya, kontrol Tuhan itu erat hubungannya dengan dasar-asal sebuah tindakan, sementara kekuatan manusia itu bertalian dengan sifat tindakan. Kontrol seorang hambalah yang menjadikan tindakannya tergolong berbakti (moralalitas baik) dan durhaka (moralitas buruk). Misalnya dalam masalah aktifitas-ibadah shalat seumpama, maka menurutnya, terkandung dua implikasi; ibadah itu bisa dikatakan sebuah tindakan, dan sekaligus sebagai suatu ketaatan. Oleh Karena itu, aktifitas shalat apabila ditinjau dari sisi tindakannya berarti itu ciptaan Allah swt, akan tetapi bila ditinjau dari sudut ketaatan seorang hamba, maka shalat termasuk ciptaan manusia. Untuk meneguhkan alasannya, ia mencontohkan lagi dalam tindakan menempeleng bocah yatim. Dipandang dari sisi tindakannya berarti ciptaan Allah Swt, namun dari unsur menyakiti atau mendidik maka itu akan digolongkan termasuk perbuatan manusia.12
Konsep perbuatan al-Isfirayini, akan menghadapi masalah bila dibenturkan dengan kenyataan bahwa seorang mahluk tidak mampu meninggalkan bekas-pengaruh sama sekali. Kan, dalam khazanah keilmuan teologi Islam, mengenai kekuatan (qudrah) itulah yang dapat mengontrol obyek yang dikuasai (maqdur), sementara kehendak (iradah) itu yang menyalurkan. Lalu ia menjawab, mengenai pemberi pengaruh (muatsir) dan pemberi kontrol (mufashil) tindakan manusia itu hanyalah dzat yang Maha Tinggi. Tapi, meski dipahami, yang dikehendaki dengan tiadanya pengaruh (bekas-atsar) itu adalah ketidakmampuan mengubah dan mengelak . Sementara, sifat manusia itu bukanlah  sebuah entitas (sesuatu, realitas) yang mampu mengubah atau mengelak dari qudrah dan iradah-Nya.13 Dari sini berarti, manusia tetap di bawah kendali Tuhan, hanya dalam tindakan moralnya dia tetap berpredikat baik dan buruk yang menyebabkan selamat dan cilaka.
Dalam pandangan Rumi, tangan, kaki, dan anggota badan lainnya, adalah alat-alat yang diberikan Allah untuk kita gunakan berkarya.. Baru, setelah secara maksimal kita berkarya, kita serahkan sepenuhnya pada Tuhan. ’Bekerjalah’, seru Rumi, baru tawakal. Tebarkan bibit itu, baru serahkan kepada Yang Kuasa.
Bagaimanapun manusia bukanlah pengontrol yang hakiki. Untuk melanjutkan, terlebih dahulu kita membagi tindakan atau perbuatan manusia ke dalam dua kategori: (1) tindakan alamiah (idhthirari), atau lebih tepat gerak alamiah; (2) tindakan-tindakan moral (ikhtiari).     

Klasifikasi Akibat Pemahaman Hukum Kebiasaan:
1.      Ulama sepakat menklaimnya kafir. Bagi seseorang yang meyakini bahwa unsur konvensional (tradisi), berdasarkan tabiat dan dzatnya, dapat membekas pada benda yang terpengaruhi, dan menganggap akan hal itu termasuk menyatunya tradisi dengan kejadian menurut akal. Seperti kepercayaan Animisme, yaitu kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib pada suatu benda secara mutlak.
2.      Kekafirannya diperselisihkan, tapi menurut pendapat shahih tidak dinobatkan kufur. Yaitu seseorang yang menganggap bahwa sebab kebiasaan sebuah kejadian itu karena kekuatannya, yang dititipkan Allah Swt. dan saling bahu-membahunya kebiasaan dan kejadian tersebut karena hukum tradisi. Kelihatannya masalah ini dapat digunakan menklaim kaum Muktazilah yang menganggap bahwa, manusia memiliki kekuatan titipan dari Allah Swt untuk menggerakan tubuhnya yang bersifat ikhtiar. Iktikad ini sama dengan konsep manusia dan perbuatannya kaum Qadariyah. Jadi kayaknya muktazilah itu termasuk new-qadariyah
3.      Kafir menurut versi ulama. Golongan yang meyakini bahwa pelaku yang membekaskan pada kejadian kebiasaan, seperti terbakar, segar, kenyang dll, adalah hanya Allah Swt. semata. Namun mereka meyakini bahwa berkesinambungannya itu, secara nalar, tidak dapat terhalangi. Wajar bila mereka menganggap yang namanya api pasti akan membakar, makan pasti kenyang dll. Meskipun iktikad semacam ini tidak mutlak diktegorikan kufur, namun keyakinannya adalah suatu kebodohan. Sebab pada saatnya akan menjerumuskan pada kekafiran, ketika terjadi peristiwa di luar kebiasaan. Contohnya besok manusia akan dibangkitkan dari kuburnya dan hidup kembali seperti semula. Mereka tentu akan mencibir, seraya menyampaikan keyakinannya bahwa hal itu tidak mungkin karena menentang adat.
4.      Golongan yang selamat, atau lebih dikenal dengan aliran  Ahl al-Sunah. Mereka yang percaya akan kejadian konvensional itu diperbuat oleh Allah. Adapun mengenahi keterkaitan dan keserempakan sebab musabab itu faktornya kebetulan, yang kapan saatnya akan hilang kebiasaan tersebut Misalnya seseorang yang tidak mau makan tapi merasakan kenyang.
Sebagai catatan penting, Sayid Muhamad al-Sanusi menyimpulkan ketentuan akan kefatalan memahami pencipta kejadian konvensional, bahkan bisa masuk dalam jurang perbuatan syirik, jika sampai beranggapan apilah seumpama, yang dapat membakar, atau suatu benda mengandung titipan kekuatan dari Tuhan. Dari komentar itu Syeh al-Dusuqi memahami bahwa, dia kelihatannya tidak menggolongkan syirik pada kelompok ke-tiga, yang mempercayai semua kejadian diciptakan Allah, akan tetapi kebiasaan itu secara logika tidak mungkin ketidakterjadiannya4.
            Tambah konsep manusia dan perbuatannya Imam Ghazali?
              
         
             



1 Muhamad al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi ala al-Syarh Um al-Barahin, Thaha Putra Semarang, hlm.40 
2 Ibid
3 Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu, Mizan Bandung, hlm. 17
4 Imam Ghazali, Kitab al-Arbain fi Ushul al-Din, hlm. 187
5 Mulyadi Kartanegara Op. cit, hlm. 25
6 Nama lengkapnya Jalaludin Muhamad bin Muhamad al-Balkhi al-Qunuwi (w. Turki 672 H./17 Desember 1273 M.). Dia seorang penyair sufi terbesar dari Persia (Iran). Sebagian besar hidupnya dihabiskan Konya (kini Turki), yang dulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma), sehingga ia lebih dikenal Jalaludin al-Rumi. Pertama pendidikan langsung diperoleh dari ayahnya sendiri, seorang tokoh dan ahli agama Islam penganut madzhab Hanafi. Kemudian belajar pada Burhanuddin Muhaqiqi al-Turmudzi, seorang tokoh dan sahabat ayahnya. Ia juga menimba ilmu pengetahuan beberapa waktu di Syam (Syuriah) atas saran gurunya. Setelah Burhanudin wafat, Rumi menggantikan sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, disaming sebagai guru, ia juga dai dan ahli hukum Islam. Baru setelah pada tahun 652 H ia mulai mengubah jalan hidupnya ke arah kehidupan sufi, aetelah ia bertemu dengan seorang penyair sufi pengelana, Syamsudin al-Tabrizi. Ia sangat terpengaruh oleh sufi, sehingga ia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru dan mulai menggubah puisi serta memasuki kehidupan sufi. Ia menulis sebuah buku dengan judul ’Diwan  Shamsi Tabriz’ sebagai kenangan akan gurunya tersebut. Inti ajaran tasawuf Rumi, disamping termuat dalam Diwan Shams Tabriz, paling banyak dimuat dalam sebuah karya besarnya yang terkenal, Al-Masnawi . Buku ini, yang terdiri dari enam jilid dan berisi 20,700 bait syair, berpengaruh besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya. Pandang dan telaah: Ensiklopedi Islam, Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, bag; IV, hlm. 182.  
                7 Mulyadi Kartanegara, Loc. cit.
8 Muhamad al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi ala al-Syarh Um al-Barahin, Thaha Putra Semarang, hlm.40
9 Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah bin Umar bin Husain al-Taimi al-Bakri. Juga dikenal dengan nama Fahrudin al-Razi, al-Razi dan Imam Fakhrudin. Kematangan pengetahuannya menjadikannya berani berdialog dengan tokoh di tanah kelahirannya. Dialog perdananya terjadi dengan Kaum Muktazilah di Khawarizmi, dan bahkan pernah berdebat dengan seorang pendeta yang sangat dikagumi pengetahuannya oleh kalangan Kristen. Buku dialognya dengan pendeta ini kemudian ditulis dalam bukunya al-Munadzarah baina al-Nashara. Dia seorang pemikir, mufasir, teolog dan ahli ushul fiqh. Dalam bidang fiqh, ia termasuk mengikuti madzhab Syafi’i. Fakhrudin juga termasuk orang yang gigih mempertahankan pemikiran yang dikembangkan kaum Asy’ariyyah. Sebagai orang yang mendalami teologi, kajian-kajian teologinya dikembangkannya melalui pendekatan filsafat. Karena pendekatannya itu, ia dianggap sebagai seorang Muktazilah. Namun konsep Muktazilah tidak luput dari kajian dan kritiknya. Al-Fakhr dinyatakan sebagai tokoh reformis dunia Islam pada abad ke-6 H, sebagaimana Abu Hamid al-Ghazali pada abad ke-5 H. Bahkan ia dijuluki sebagai tokoh pembangun sistem teologis melalui pendekatan filsafat. Pembahasan teologisnya mengambil bentuk yang berbeda dari pembahasan para teolog sebelumnya. Tema-tema teologis dikaitkannya dengan tema-tema cabang ilmu pengetahuan lainnya. Seperti pengakuan Sayyid Husain al-Nasr, seorang penulis Iran dan pemikir mistik modern, menjelaskan bahwa dalam risalah yang berjudul Asrar al-Tanzil, Fakhrudin mengawinkan tematika dengan pembahasan teologis. Di antara konsep teologinya yang mashur adalah mengenahi penilaian baik dan buruk, Fakhrudin membaginya ke dalam dua bentuk. Pertama, yang menyangkut kesenangan dan kepuasan manusia sangat bergantung pada manusia sendiri. Kedua, yang menyangkut hukum, apakah setiap perbuatan harus dilaksanakan atau terpaksa ditinggalkan, syariatlah yang menentukannya. Dalam hal terahir manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya. Periksa: Eksiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) cet. Kelima: 1999, bag.1, hlm. 327-328.       
10 Mulyadi Kartanegara, Loc. cit.
11 Muhamad al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi ala al-Syarh Um al-Barahin, hlm.39
12 Ibid, hlm 40
13 Ibid
4 Periksa: Um al-Barahin hlm………????