TAUHID
KITA YANG SAHAJA
Menurut
ilmu otak/saraf (neuro sains), sebenarnya dalam otak kita telah
dilengkapi dengan kecerdasan spritual (SQ; spritual quatient). SQ
menurut para ahli, berpusat di otak bagian depan, tepatnya di ujung dahi, yang
mereka sebut lobus temporal. Dengan kelengkapan fasilitas ini, segala
kegiatan otak yang bersifat ritual, spiritual, atau ke-bertuhanan manusia
terorganisir. Siapapun orangnya pasti mempunyai kecerdasan jenis ini, disamping
kecerdasan emosional yang kurang lebih sebagai pengolah data hal-hal yang
berhubungan dengan perasaan, imajinasi, dsb (ma’qûlât). Satu lagi yang
dimiliki manusia, kecerdasan intelektual adalah kemampuan untuk menangkap
hal-hal yang berhubungan logika atau sederhananya hal-hal yang berbentuk fisik
(mahsûsât).
Dengan
pengantar singkat ini, kami hanya ingin menyampaikan, suatu keanehan telah,
sedang dan akan terus terjadi. Otak yang tak lain berupa benda fisik mampu
memikirkan tentang wujudnya Tuhan. Namun, otak sendiri tidak mampu memikirkan
dirinya sendiri mengapa dirinya mampu memahami dan ”menangkap” hal-hal yang non
fisik termasuk Tuhan tentunya. Dan kami juga ingin menyampaikan bahwa
pengingkaran terhadap wujud Tuhan hanyalah tindakan tidak cerdas karena
mengingkari adanya fithrah (bawaan) manusia itu sendiri.[1]
Al-Quran
sendiri telah mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap
manusia dan hal itu juga merupakan fitrah manusia sejak asal kejadiannya. Hal
ini dapat dipahami dalam Qs. al-Rum [30]:……
……فأقم
وجهك للدين حنيفا
فطرة الله
Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah….
Menurut
al-Qurthubi, yang menyetujui al-Thabbari, makna ayat ini adalah Allah telah
benar-benar menjadikan manusia dengan fitrah untuk mengenal Tuhan.[2]
Walaupun ada pula ayat yang menjelaskan tentang atheisme (anti Tuhan), misalnya
dalam Qs. Al-Jatsiyyah [45]: 24;
Dan
mereka berkata, ”Kehidupan ini adalah tidak lain hanyalah kehidupan di dunia
saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang mampu membinasakan kita
selain masa.”
Namun
paham atheisme ini segera dibantah al-Quran, dalam terusan ayat tadi; …..mereka
sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, dan mereka tidak lain
hanya menduga-duga saja.
Mereka
yang tidak mempercayai wujud Tuhan adalah orang yang keras kepala dan kehabisan
akal seperti halnya Fir’aun. Salah satu
bukti bahwa pengingkaran wujud Tuhan ini adalah pengingkaran terhadap akal sehat adalah pengakuan Fir’aun tentang wujudnya
Tuhan menjelang ajalnya, saat ia ditenggelamkan di Laut Merah.
….hingga
pada saat Fir’aun akan tenggelam, berkatalah dia,” Saya percaya bahwa tidak ada
Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai Bani Israil, dan saya termasuk orang yang
berserah diri (kepada Allah). ……(Qs.
Yunus [10]: 10)
Ayat
ini adalah bukti bahwa manusia pada dasarnya mempunyai bawaan membutuhkan Tuhan
sejak asal. Jika ada manusia yang mengingkari wujud Tuhan maka hanya bersifat
sementara. Sementara pada saat ajal menjelang manusia pasti membutuhkan Tuhan.
Sekeras apapun manusia, termasuk yang mengaku dirinya Tuhan pada akhirnya
membutuhkan Tuhan segala ”tuhan”.
BERDIAMNYA
TAUHID DALAM HATI SEORANG MUKMIN
Iman sering diibaratkan cahaya
yang menerangi hati yang didiamkan Allah dalam hati seorang mukmin sebagian
pemberian murni dan katakanlah hadiah-Nya pada hamba-Nya yang dikehendaki.
Tersemainya tauhid dalam hati seorang mukmin akan berbeda antara satu dengan
yang lain. Yang menarik adalah keyakinan yang ada dalam hati sebagian orang
tanpa mereka sendiri dapat mengungkapkannya dengan bahasa lisan. Ada juga yang
dengan perantaran mimpi.[3]
Sebagian lagi ada yang masuk Islam karena melihat perilaku seorang muslim yang
taat beragama dan aura keagamaan darinya terpancar menembus hati orang yang
melihatnya karena sering bergaul dengan orang yang saleh ini.
Atau, pada zaman dahulu
diceritakan tauhid juga akan muncul hanya dengan melihat tindak-tanduk Nabi.
Tentang hal ini tercermin dari seorang a’rabi (badui) yang pada suatu
ketika mendatangi Nabi Muhammad saw. Ia ingin membuktikan pengakuan kerasulan
Muhammad yang ia terima entah dari siapa. Saat itu ia belum percaya bahwa
Muhammad adalah seorang nabi yang diutus Tuhan. Ringkas cerita, ketika dan hanya dengan- melihat pesona anggun
kenabian dan wibawa wajah Nabi, secara spontan ia mengatakan; ” Wajah ini bukan
lah tipe wajah orang yang suka berbohong.” Dan saat itu pula si badui
mengucapkan syahadat. Bagaimanakah sikap Nabi melihat kejadian ini, ternyata
Nabi pun tak meragukan dan menanyakan
status keislamannya. Sebuah keabsahan tauhid yang mudah dan tak berbelit-belit.
Badui yang bodoh, tak mengenal budaya selain yang dialaminya; tak kenal baca
tulis; ndeso dan entah apa lagi bahasa yang mewakili si badui yang ”bulhu”[4]
ini,[5]
namun, ia -sama dengan manusia lain-, memiliki kisi-kisi
[1] Nabi dalam haditsnya menyatakan bahwa manusia dilahirkan dalam
keadaan suci. Seongok bayi manusia tidak membawa dosa apapun atau dalam
kerangka yang sedang kita diskusikan ini dalam dirinya terdapat potensi
spiritual yang sudah terbentuk dan tertanam sejak lahir.
[2] Tafsir al-Qurthubi, XIV/ 24.
[3] Kita mungkin pernah mendengar banyak para artis mua’allaf yang
masuk Islam hanya karena gara-gara mimpi yang tak lazim dialaminya; melihat
bulan dan bintang, ka'bah dsb. Namun mereka sekali lagi hany dengan mimpi
percaya bahwa itu adalah petunjuk dari Tuhan.
[4] Bulhu adalah sebutan orang yang dikabaran Nabi sebagai calon
mayoritas penghuni surga. Bulhu
secara harfiah bermakna bodoh, namun yang dimaksud bodoh di sini adalah orang
yang tidak mengetahui apalagi memperdulikan urusan dunia sehingga lebih
terkonsentrasi dan fokus pada urusan akhiratnya.
[5] Al-ghazali dalam Fashl al-Tafriqah hal. 250. Di
Indonesia, tepatnya di pedalaman
Propinsi Banten ada suku yang bernama Rawayan. Suku yang ini hampir tak
mengenal dunia luar. Mereka selalu hidup mengelompok dan hidup mengisolasi diri
dari hubungan dunia luar. Dalam memenuhi kebutuhan mereka menggunakan sistem
barter (tukar menukar barang dengan barang). Mereka sering berkunjung ke
Ibukota Jakarta untuk berbelanja sekadar melengkapi hajat pokok mereka yang tak
tersedia di habitatnya. Kemanapun, mereka selalu memakai pakaian khas mereka
yakni, pakaian warna hitam-hitam dengan ikat kepala dan selalu membawa senjata,
namun bukan untuk mengganggu orangh lain hanya untuk berjaga-jaga diri saja.
Mungkin seperti inilah gambaran badui yang menemui Nabi Muhammad ketika beliau
masih berada di tengah-tengah kita. Konon, sebagian dari Raqwayan sudah ada
beberapa yang memeluk Islam.