SIRBAGOOOS

Selamat datang di Pondok Pesantren Sirojuth Tholibiin

Selasa, 09 Oktober 2012

TAUHID KITA YANG SAHAJA


TAUHID KITA YANG SAHAJA

Menurut ilmu otak/saraf (neuro sains), sebenarnya dalam otak kita telah dilengkapi dengan kecerdasan spritual (SQ; spritual quatient). SQ menurut para ahli, berpusat di otak bagian depan, tepatnya di ujung dahi, yang mereka sebut lobus temporal. Dengan kelengkapan fasilitas ini, segala kegiatan otak yang bersifat ritual, spiritual, atau ke-bertuhanan manusia terorganisir. Siapapun orangnya pasti mempunyai kecerdasan jenis ini, disamping kecerdasan emosional yang kurang lebih sebagai pengolah data hal-hal yang berhubungan dengan perasaan, imajinasi, dsb (ma’qûlât). Satu lagi yang dimiliki manusia, kecerdasan intelektual adalah kemampuan untuk menangkap hal-hal yang berhubungan logika atau sederhananya hal-hal yang berbentuk fisik (mahsûsât).
Dengan pengantar singkat ini, kami hanya ingin menyampaikan, suatu keanehan telah, sedang dan akan terus terjadi. Otak yang tak lain berupa benda fisik mampu memikirkan tentang wujudnya Tuhan. Namun, otak sendiri tidak mampu memikirkan dirinya sendiri mengapa dirinya mampu memahami dan ”menangkap” hal-hal yang non fisik termasuk Tuhan tentunya. Dan kami juga ingin menyampaikan bahwa pengingkaran terhadap wujud Tuhan hanyalah tindakan tidak cerdas karena mengingkari adanya fithrah (bawaan) manusia itu sendiri.[1] 
Al-Quran sendiri telah mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap manusia dan hal itu juga merupakan fitrah manusia sejak asal kejadiannya. Hal ini dapat dipahami dalam Qs. al-Rum [30]:……
……فأقم وجهك  للدين    حنيفا   فطرة الله
 Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah….
Menurut al-Qurthubi, yang menyetujui al-Thabbari, makna ayat ini adalah Allah telah benar-benar menjadikan manusia dengan fitrah untuk mengenal Tuhan.[2] Walaupun ada pula ayat yang menjelaskan tentang atheisme (anti Tuhan), misalnya dalam  Qs. Al-Jatsiyyah [45]: 24;
Dan mereka berkata, ”Kehidupan ini adalah tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang mampu membinasakan kita selain masa.”  
Namun paham atheisme ini segera dibantah al-Quran, dalam terusan ayat tadi; …..mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, dan mereka tidak lain hanya menduga-duga saja.  
Mereka yang tidak mempercayai wujud Tuhan adalah orang yang keras kepala dan kehabisan akal seperti halnya Fir’aun. Salah satu  bukti bahwa pengingkaran wujud Tuhan ini adalah pengingkaran  terhadap akal sehat  adalah pengakuan Fir’aun tentang wujudnya Tuhan menjelang ajalnya, saat ia ditenggelamkan di Laut Merah.
….hingga pada saat Fir’aun akan tenggelam, berkatalah dia,” Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai Bani Israil, dan saya termasuk orang yang berserah diri (kepada Allah). ……(Qs. Yunus [10]: 10)
Ayat ini adalah bukti bahwa manusia pada dasarnya mempunyai bawaan membutuhkan Tuhan sejak asal. Jika ada manusia yang mengingkari wujud Tuhan maka hanya bersifat sementara. Sementara pada saat ajal menjelang manusia pasti membutuhkan Tuhan. Sekeras apapun manusia, termasuk yang mengaku dirinya Tuhan pada akhirnya membutuhkan Tuhan segala ”tuhan”.

   
BERDIAMNYA TAUHID DALAM HATI SEORANG MUKMIN
                Iman sering diibaratkan cahaya yang menerangi hati yang didiamkan Allah dalam hati seorang mukmin sebagian pemberian murni dan katakanlah hadiah-Nya pada hamba-Nya yang dikehendaki. Tersemainya tauhid dalam hati seorang mukmin akan berbeda antara satu dengan yang lain. Yang menarik adalah keyakinan yang ada dalam hati sebagian orang tanpa mereka sendiri dapat mengungkapkannya dengan bahasa lisan. Ada juga yang dengan perantaran mimpi.[3] Sebagian lagi ada yang masuk Islam karena melihat perilaku seorang muslim yang taat beragama dan aura keagamaan darinya terpancar menembus hati orang yang melihatnya karena sering bergaul dengan orang yang saleh ini.

                Atau, pada zaman dahulu diceritakan tauhid juga akan muncul hanya dengan melihat tindak-tanduk Nabi. Tentang hal ini tercermin dari seorang a’rabi (badui) yang pada suatu ketika mendatangi Nabi Muhammad saw. Ia ingin membuktikan pengakuan kerasulan Muhammad yang ia terima entah dari siapa. Saat itu ia belum percaya bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang diutus Tuhan. Ringkas cerita, ketika  dan hanya dengan- melihat pesona anggun kenabian dan wibawa wajah Nabi, secara spontan ia mengatakan; ” Wajah ini bukan lah tipe wajah orang yang suka berbohong.” Dan saat itu pula si badui mengucapkan syahadat. Bagaimanakah sikap Nabi melihat kejadian ini, ternyata Nabi pun tak meragukan  dan menanyakan status keislamannya. Sebuah keabsahan tauhid yang mudah dan tak berbelit-belit. Badui yang bodoh, tak mengenal budaya selain yang dialaminya; tak kenal baca tulis; ndeso dan entah apa lagi bahasa yang mewakili si badui yang ”bulhu[4] ini,[5] namun, ia -sama dengan manusia lain-, memiliki kisi-kisi




[1] Nabi dalam haditsnya menyatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan suci. Seongok bayi manusia tidak membawa dosa apapun atau dalam kerangka yang sedang kita diskusikan ini dalam dirinya terdapat potensi spiritual yang sudah terbentuk dan tertanam sejak lahir.
[2] Tafsir al-Qurthubi, XIV/ 24.
[3] Kita mungkin pernah mendengar banyak para artis mua’allaf yang masuk Islam hanya karena gara-gara mimpi yang tak lazim dialaminya; melihat bulan dan bintang, ka'bah dsb. Namun mereka sekali lagi hany dengan mimpi percaya bahwa itu adalah petunjuk dari Tuhan.
[4] Bulhu adalah sebutan orang yang dikabaran Nabi sebagai calon mayoritas penghuni  surga. Bulhu secara harfiah bermakna bodoh, namun yang dimaksud bodoh di sini adalah orang yang tidak mengetahui apalagi memperdulikan urusan dunia sehingga lebih terkonsentrasi dan fokus pada urusan akhiratnya. 
[5] Al-ghazali dalam Fashl al-Tafriqah hal. 250. Di Indonesia,  tepatnya di pedalaman Propinsi Banten ada suku yang bernama Rawayan. Suku yang ini hampir tak mengenal dunia luar. Mereka selalu hidup mengelompok dan hidup mengisolasi diri dari hubungan dunia luar. Dalam memenuhi kebutuhan mereka menggunakan sistem barter (tukar menukar barang dengan barang). Mereka sering berkunjung ke Ibukota Jakarta untuk berbelanja sekadar melengkapi hajat pokok mereka yang tak tersedia di habitatnya. Kemanapun, mereka selalu memakai pakaian khas mereka yakni, pakaian warna hitam-hitam dengan ikat kepala dan selalu membawa senjata, namun bukan untuk mengganggu orangh lain hanya untuk berjaga-jaga diri saja. Mungkin seperti inilah gambaran badui yang menemui Nabi Muhammad ketika beliau masih berada di tengah-tengah kita. Konon, sebagian dari Raqwayan sudah ada beberapa yang memeluk Islam.